Senin, 17 September 2012

Pondasi Kerajaan Singasari


Tim peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional menemukan fondasi bangunan kuno pada zaman Kerajaan Singosari di areal tempat pemakaman umum Jalan Ken Dedes, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Ketua tim peneliti Puslitbang Arkeologi Nasional Amelia di Malang, Senin, mengatakan, temuan tersebut merupakan hasil penggalian yang dilakukan sejak Sabtu (9/10/2010) hingga hari ini.
Dalam penemuan tersebut, sejumlah benda penting yang menunjukkan keberadaan Kerajaan Singosari pada abad 13 Masehi juga ditemukan, di antaranya, pecahan tembikar dan keramik.
Sebelumnya, pihak peneliti tidak menemukan apa pun pada penggalian pertama kecuali pecahan tembikar.
Padahal, pada penggalian pertama tersebut peneliti berharap menemukan Arca Dwarapala yang juga sebagai tanda pintu masuk Kerajaan Singosari.
Sementara itu, pada penggalian Senin, tim peneliti menemukan struktur batu bata besar berukuran panjang 29 sentimeter, lebar 19 sentimeter, serta dengan ketebalan 6 sentimeter.
Di lokasi lain yang masih dalam satu tempat juga ditemukan struktur batu bata panjang sekitar 40-42 sentimeter, lebar 20 sentimeter, dan ketebalan 12 sentimeter.
Amelia menyebutkan, struktur batu bata tersebut diperkirakan fondasi perumahan kuno.
Dua struktur batu bata mirip fondasi yang ditemukan Senin kemarin tempatnya berdampingan dan hanya berjarak sekitar satu meter dengan struktur bentuk yang berbeda.
"Fondasi satunya berbentuk memanjang dengan batu andesit tertata rapi di bawah batu bata. Sedangkan struktur batu bata di sebelahnya tertata rapi tanpa batu andesit di bawahnya," katanya.

Amelia menjelaskan, penemuan terbaru ini penting sebab menunjang data penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan pada 22-31 Juli 2009 dan satu rangkaian dengan penelitian pada 2002.
Apakah fondasi tersebut merupakan tempat keraton Kerajaan Singosari, rumah pejabat atau rumah penduduk biasa, masih belum dipastikan. Sebab, belum ditemukan pintu masuk bangunan tersebut dan menghadap ke arah mana. "Kami akan ungkap lagi pada penggalian mendatang sambil menunggu analisa temuan hari ini," katanya. Baca Selanjutnya




Situs Trowulan


Inilah saatnya Anda membangkitkan rekaan imajinasi tentang kehidupan dari sebuah kerajaan terbesar di Indonesia lebih dari 700 tahun yang lalu. Ya, inilah situs Kerajaan Majapahit dari masa abad  XIII – XV Masehi. Berlokasi di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur sebagai tempat dimana Anda dapat mengenang kebesarannya dan tidak lagi menganggap bahwa kita hanya tahu dari buku sejarah atau pelajaran saat sekolah dahulu.

Trowulan adalah satu-satunya situs kota di Indonesia yang luasnya mencapai 11 x 9 km 99 km² dan menyimpan ratusan ribu peninggalan arkeologis, baik yang sudah ditemukan maupun yang masih terkubur. Berwisata ke tempat ini bukan sekedar liburan, namun Anda juga bisa menapaki sejarah besar dari sebuah kerajaan yang menjadi inspirasi Bangsa Indonesia tentang "Persatuan Nusantara". Selain itu Anda akan mengetahui bagaimana tingkat peradaban di Trowulan di masa Majapahit, mulai dari sistem pemerintahan, perdagangan, hubungan luar negeri, teknologi, arsitektur, pertanian, hingga seni kerajinan.

Kerajaan Majapahit berdiri 1293 M setelah runtuhnya Kerajaan Singosari. Didirikan oleh Raden Wijaya, awalnya berpusat di daerah Hutan Tarik yang banyak terdapat Pohon Maja yang buahnya pahit, oleh karena itu dinamakan Majapahit. Raden Wijaya sendiri adalah menantu Raja Singosari yaitu Kertanegara dari garis keturunan Ken Arok, pendiri Kerajaan Singosari dia menjadi raja pertama Majapahit hingga 1309 M.


Kebesaran Majapahit mencapai puncak keemasan pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada yang mengikrarkan Sumpah Palapa untuk mempersatukan Nusantara. Majapahit berhasil merangkai jejaring perniagaan lokal dan regional dengan komoditi beras dan hasil bumi yang ditukar dengan rempah-rempah, keramik, dan tekstil. Mata uang yang digunakan adalah uang gobog dan uang ma dari emas atau perak, uniknya mata uang Cina dari Dinasti Tang, Song, Ming, dan Qing berlaku juga di Majapahit. Dalam kehidupan beragama terjadi penyatuan agama Siwa dengan Budha, selain berkembang agama Karesian dan Islam. Hal ini menunjukan Majapahit sebagai negara multikultur dan masyarakatnya hidup damai dengan berbagai aliran kepercayaan secara harmonis. Majapahit mengalami pasang surut akibat perebutan tahta di kalangan keluarga raja hingga akhirnya mengalami keruntuhanya abad XV M.

Bangunan keraton Majapahit diperkirakan seperti rumah bertingkat dengan atap dari kayu tipis, tembok dari bata, lantainya dari anyaman tikar pandan atau rotan. Sementara rumah penduduk umumnya dari atap jerami. Situs-situs di Trowulan telah dipugar untuk menjaga keindahannya. Situs Trowulan ini ramai pengunjung terutama hari Sabtu-Minggu dan liburan sekolah. Setiap harinya rata-rata 50-an orang pada hari-hari biasa dan rata-rata 170-an orang pada hari liburan dan liburan sekolah.


Situs Trowulan sendiri pertama kali muncul dalam literatur berjudul “History of Java I” yang ditulis Sir Stamford Raffles tahun 1817. Raffles mengatakan bahwa nama Trowulan berasal dari Trang Wulan atau Terang Bulan. Saat ditemukan seluruh situs ini tertutup hutan jati yang cukup lebat, sehingga dia tidak terlihat sebagai sebuah kota klasik.

Situs kota kota klasik Trowulan dibagi beberapa segmen yang memperlihatkan perannya dimasa lalu. Dibangun dengan pola ruang kanal air diduga ada hubungannya dengan konsep mandala yang digunakan sebagai acuan dan dasar pembagian kosmologis kota ini. Kolam Segaran membuktikan hal tersebut tak ubahnya bagai telaga di tengah kota. Berdasarkan sketsa rekonstruksi Kota Majapahit dan foto udara memperlihatkan kota lama ini memiliki sistem kanal pengairan untuk drainase dan pasokan air yang dibuat dalam garis lurus memanjang barat laut-tenggara dan timur laut-barat daya. Baca Selanjutnya




Sejarah Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri adalah sebuah kerajaan besar di Jawa Timur yang berdiri pada abad ke-12. Kerajaan ini merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Pusat kerajaanya terletak di tepi Sungai Brantas yang pada masa itu telah menjadi jalur pelayaran yang ramai.
 Kerajaan Kediri lahir dari pembagian Kerajaan Mataram oleh Raja Airlangga (1000-1049). Pemecahan ini dilakukan agar tidak terjadi perselisihan di antara anak-anak selirnya. Tidak ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri (Pangjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Pangjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri
Perkembangan Kerajaan Kediri 
perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Akan tetapi hilangnya jejak Jenggala mungkin juga disebabkan oleh tidak adanya prasasti yang ditinggalkan atau belum ditemukannya prasasti yang ditinggalkan Kerajaan Jenggala. Kejayaan Kerajaan Kediri sempat jatuh ketika Raja Kertajaya (1185-1222) berselisih dengan golongan pendeta. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Akuwu Tumapel Tunggul Ametung. Namun kemudian kedudukannya direbut oleh Ken Arok. Diatas bekas Kerajaan Kediri inilah Ken Arok kemudian mendirikan Kerajaan Singasari, dan Kediri berada di bawah kekuasaan Singasari. Ketika Singasari berada di bawah pemerintahan Kertanegara (1268-1292), terjadilah pergolakan di dalam kerajaan. Jayakatwang, raja Kediri yang selama ini tunduk kepada Singasari bergabung dengan Bupati Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan Kertanegara. Akhirnya pada tahun 1292 Jayakatwang berhasil mengalahkan Kertanegara dan membangun kembali kejayaan Kerajaan Kediri.

Runtuhnya Kediri 
Setelah berhasil mengalah kan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit kembali di bawah pemerintahan Jayakatwang. Salah seorang pemimpin pasukan Singasari, Raden Wijaya, berhasil meloloskan diri ke Madura. Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya. Pada tahun 1293, datang tentara Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan untuk membalas dendam terhadap Kertanegara. Keadaan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Ia bekerjasama dengan tentara Mongol dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menggempur Kediri. Dalam perang tersebut pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri. Baca Selanjutnya






Sejarah Kerajaan Singasari

Kerajaan Singasari (1222-1293) adalah salah satu kerajaan besar di Nusantara vang didirikan oleh Ken Arok pada 1222. Kerajaan Singasari mencapai puncak kejayaan ketika dipimpin oleh Raja Kertanegara (1268-1292) yang bergelar Maharajadhiraja Kertanegara Wikrama Dharmottunggadewa.

Ken Arok merebut daerah Tumapel, salah satu wilayah Kerajaan Kediri yang dipimpin oleh Tunggul Ametung, pada 1222. Ken Arok pada mulanya adalah anak buah Tunggul Ametung, namun ia membunuh Tunggul Ametung karena jatuh cinta pada istrinya, Ken Dedes. Ken Arok kemudian mengawini Ken Dedes. Pada saat dikawini Ken Arok, Ken Dedes telah mempunyai anak bernama Anusapati yang kemudian menjadi raja Singasari (1227-1248). Raja terakhir Kerajaan Singasari adalah Kertanegara.  

Ken Arok
Ketika di pusat Kerajaan Kediri terjadi pertentangan antara raja dan kaum Brahmana, semua pendeta melarikan diri ke Tumapel dan dilindungi oleh Ken Arok. Pada 1222, para pendeta Hindu kemudian menobatkan Ken Arok sebagai raja di Tumapel dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi. Adapun nama kerajaannya ialah Kerajaan Singasari. Berita pembentukan Kerajaan Singasari dan penobatan Ken Arok menimbulkan kemarahan raja Kediri, Kertajaya. la kemudian memimpin sendiri pasukan besar untuk menyerang Kerajaan Singasari. Kedua pasukan bertempur di Desa Ganter pada 1222. Ken Arok berhasil memenangkan pertempuran dan sejak itu wilayah kekuasaan Kerajaan Kediri dikuasai oleh Singasari. 

Kertanegara
Ken Arok memerintah Kerajaan Singasari hanya lima tahun. Pada 1227 ia dibunuh oleh Anusapati, anak tirinya (hasil perkawinan Tunggul Ametung dan Ken Dedes). Sepuluh tahun kemudian Anusapati dibunuh oleh saudara tirinya, Tohjaya (putra Ken Arok dengan Ken Umang) Kematian Anusapati menimbulkan kemarahan Ranggawuni, putra Anusapati. Ranggawuni langsung menyerang Tohjaya. Pasukan Tohjaya kalah dalam pertempuran dan meninggal dunia dalam pelarian. Pada 1248 Ranggawuni menjadi raja Singasari bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana. Ranggawuni memerintah Kerajaan Singasari selama 20 tahun (1248-1268) dan dibantu oleh Mahisa Cempaka (Narasingamurti). Ranggawuni wafat pada 1268 dan digantikan oleh putranya, Kertanegara. la memerintah Kerajaan Singasari selama 24 tahun (1268-1292).

Ekspedisi Pamalayu
Kertanegara terus memperluas pengaruh dan kekuasaan Kerajaan Singasari. Pada 1275 ia mengirim pasukan untuk menaklukkan Kerajaan Sriwijaya sekaligus menjalin persekutuan dengan Kerajaan Campa (Kamboja). Ekspedisi pengiriman pasukan itu dikenal dengan nama Pamalayu. Kertanegara berhasil memperluas pengaruhnya di Campa melalui perkawinan antara raja Campa dan adik perempuannya. Kerajaan Singasari sempat menguasai Sumatera, Bakulapura (Kalimantan Barat), Sunda (Jawa Barat), Madura, Bali, dan Gurun (Maluku).

Serangan Pasukan Mongol
Pasukan Pamalayu dipersiapkan Kertanegara untuk menghadapi serangan kaisar Mongol, Kubilai Khan, yang berkuasa di Cina. Utusan Kubilai Khan beberapa kali datang ke Singasari untuk meminta Kertanegara tunduk di bawah Kubilai Khan. Apabila menolak maka Singasari akan diserang. Permintaan ini menimbulkan kemarahan Kertanegara dengan melukai utusan khusus Kubilai Khan, Meng Ki, pada 1289. Kertanegara menyadari tindakannya ini akan dibalas oleh pasukan Mongol. la kemudian memperkuat pasukannya di Sumatera. Pada 1293 pasukan Mongol menyerang Kerajaan Singasari. Namun Kertanegara telah dibunuh oleh raja Kediri, Jayakatwang, setahun sebelumnya. Singasari kemudian dikuasai oleh Jayakatwang. Baca Selanjutnya       





 

Rabu, 12 September 2012

Patung Joko Dolog


Intisari terjemahan bebas prasasti Wurare (1211 saka)
Prasasti yang berbentuk sajak sebanyak 19 baik ini isi pokoknya dapat dirinci menjadi 5 hal, yaitu :

Pada suatu saat ada seorang pendeta yang benama Arrya Bharad bertugas membagi Jawa menjadi 2 bagian, yang kemudian masing-masing diberi nama Jenggala dan Panjalu. Pembagian kekuasaan ini dilakukan karena ada perebutan kekuasaan diantara putra mahkota.

Pada jaman kerajaan Medang, yaitu masa akhir pemerintahan raja Airlangga, tepatnya 963 Saka, terjadi pembagian kerajaan menjadi dua.
Hal ini terpkasa dilakukan untuk menghindari perebutan kekuasaan diantara 2 putra mahkota.
Pembagian kerajaan dilakukan oleh seorang pendeta yang sangat terkenal kesaktiannya, bernama Arrya Bharad. Caranya membasahi dan membelah bumi dengan air kendi yang berkilat, Kedua kerajaan ini dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas, dan masing-masing disebut kerajaan Jenggala dan Pamjalu.
Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas, dengan pelabuhan Surabaya, Rembang, dan Pasuruan. Ibukotanya adalah Kahuripan, yaitu bekas ibukota kerajaan Airlangga.
Sedangkan kerajaan Pamjalu, yang kemudian dikenal dengan nama Kediri, meliputi daerah Kdiri dan Madiun. Ibukotanya Daha, yang mungkin didaerah Kediri sekarang.

Pada masa pemerintahan raja Jayacriwisnuwardhana dan permaisurinya, Crijayawarddhani, kedua daerah itu disatukan kembali.

Pada jaman kerajaan Singosari, tepatnya pada masa pemerintahan raja Wisnuwardhana, kerajaan Panjalu dan Jenggala berusaha disatukan kembali dibawah kekuasaan kerajaan Singosari.
Usaha yang dilakukan raja Wisnuwarddhana untuk mempersatukan tersebut dengan cara mengawainkan anaknya yang bernama Turukbali dengan Jayakatwang yang meupakan keturunan raja Kediri terakhir yaitu raja Kertajaya.
Jayakatwang yang merasa bahwa ia adalah pewaris sah atas tahta Kediri sehingga ia berusaha merebut kembali kekuasaannya.
Ulahnya yang selalu berusaha merebut kekuasaan itulah yang ingin dicegah raja Wisnuwarddhana dengan jalan mengadakan perkimpoian politik tersebut.
Usaha itu kemudian dilanjutkan oleh keturunannya yang bernama raja Kretanegara yang mengawinkan anaknya dengan anak Jayakatwang yang bernama Arddhara.

Pentahbisan raja (yang memerintahkan membuat prasasti) sebagai Jina dengan gelar Cri Jnanjaciwabajra. Perwujudan sebagai Jina Mahasobya didirikan di Wurare pada 1211 Saka.

Kenyataan tetap membuktikan bahwa usaha yang baik tidak selalu lancar.
Jayakatwang tetap berusaha merebut kekuasaan. Kretanegara dianggap sebagai orang yang tidak berhak atas tahta kerajaan.
Cara yang ditempuh Kretanegara untuk menunjukkan bahwa ia adalah putra mahkota yang sah yaitu dengan menyebutkan Crijayawisnue\warddhana dan Crijayawarddhani sebagai orang tuanya dalam prasasti Wurare itu.
Disamping itu, disebutkan bahwa Kretanegara adalah raja yang pandai dalam dharma dan sastra, serta sebagai pendeta dari keempat pulau. Ia dikukuhkan sebagai Jina Mahasobya dengan gelar Crijnanaciwabajra.

Raja dalam waktu singkat berhasil kembali menyatukan daerah yang telah pecah, sehingga kehidupan menjadi sejahtera.

Maksud pengukuhannya sebagai Jina adalah untuk menunjukkan kekuasaan dan kebesaran dirinya.
Mahasobya adalah dewa Aksobhya tertinggi.
Sebutan Kretanegara sebagai Mahasobhya berarti ia mempunyai sifat yang ada dalam diri Dewa Aksobhya dan emanasinya, yaitu mempunyai sifat damai, berkuasa, dan kekuasaannya yang tiada tandingannya.
Sedangan gelarnya sebagai Cri Jnannaciwabajra dapat berarti bahwa ia adalah orang yang mempunyai pengalaman atau berpengalaman seperti Dewa Siwa, serta dapat memusnahkan kejahatan untuk kesejahteraan semua umat manusia.

Penyebutan si pembuat prasasti yang bernama Nada, sebagai abdi raja.

Siapa sebetulnya raja yang memerintah membuatkan prasati ini ? Jawabnya tidak lain adalah raja Kretanegara, yaitu raja Singosari terakhir. Dalam prasasti disebutkan bahwa ia adalah anak raja Crijayawisnuwarddhana dengan Crijayawarddhani. Nama Crijayawisnuwarddhana sekarang lebih dikenal dengan nama Wisnuwarddhana atau Ranggawuni.Kemudian Arrya Bharad, nama ini dikenal pada masa pemerintahan raja Airlangga. Sedangkan Nama sudah jelas disebutkan bahwa ia adalah abdi raja. Selanjutnya dari prasasti ini dapat diketahui data-data sejarah yang penting
Beberapa data tersebut jka dipadukan dengan data-data sejarah yang lain seperti kitab Negarakretagama, Pararaton, dan prasasti-prasasti yang lain, akan menghasilkan kerangka sejarah yang gambling.

Selain itu, gelar-gelar Kertanegara tersebut juga mempunyai latar belakang politik luar negeri tingkat tinggi.
Raja Kretanegara ingin menyaingi raja Kubilai Khan yang dikukuhkan sebagai Jina Mahamitabha.
Persaingan ini timbul karena raja Kubilai Khan ingin berkuasa diseluruh Asia Tengara. Tetapi raja Kretanegara tidak mau tunguk begitu saja. Pada 1211 Saka, utusan dari raja Kubilai Khan bernama Meng-Ch’I, yang meminta pengakuan kekuasaan Kubilai Khan, ditolak dan disuruh pulang ke Mongol oleh raja Kretanegara.
Semua itu dilakukan bertepatan dengan dibuatnya prasasti Wurare yang menyatakan kekuasaan dan kebesaran raja Kretanegara sebagai Jina Mahasobhya.
Mahasobhya adalah Jina yang menguasai mata angin sebelah timur, sedangkan Mahamitabha menguasai mata angin sebelah barat.
Dengan demikian Kubilai Khan menguasai wilayah bagian barat sedangkan Kretanegara menguasai wilayah bagian timur.


Dari semua keterangan tersebut dapat diketahui bahwa arca Joko Dolok merupakan perwujudan raja Kretanegara sendiri.
Sedangkan prasasti yang dipahatkan mengelilingi lapiknya mengandung nilai sejarah politik yang penting.

Terutama sebagai bukti bahwa:
Bangsa kita sejak jaman dahulu tidak mau begitu saja menyerah kepada penjajah asing.
Juga berusaha menggalang persatuan untuk menegakkan kekuatan. Arya Bharad ini yang sering kita sebut sebagai Empu Bharada,bli? Baca Selanjutnya




Candi Jago


CANDI JAGO Salah satu candi dengan relief yang begitu kompleks dan detail adalah candi Jago. Relief-relief tersebut dipahatkan hampir merata keseluruh sisa bangunan candi yang masih dapat kita lihat sekarang ini. Disini dipahatkan begitu banyak cerita-cerita moral baik dari unsur Jawa asli, Budhisme, dan Hinduisme. Suatu bentuk perpaduan dinamis yang jarang ditemui di candi-candi lain.             Candi Jago, menurut Negarakretagama disebut Jajaghu, merupakan tempat pendharmaan raja Wisnuwardhana atau Ranggawuni yang dikatakan meninggal tahun 1190 C atau sekitar 1268 M. Sesungguhnya raja Wisnuwardhana dicandikan di 2 tempat yakni di Waleri (tidak ditemukan sampai sekarang) sebagai Siwa dan di Jago sebagai Budha. Bathara Wisnu mulih ing curalaya pjah dinarma ta sire waleri swasimbha len sugtawimbha mungwin jajaghu (Nagarakretagama 41: 4)

            Dari ulasan pada Negarakretagama tersebut dapat dipahami bahwa Wisnuwardhana adalah penganut agama Siwa-Budha yaitu suatu keagamaan yang timbul sebagai akibat percampuran agama Siwa (Hindu) dan Budha. Saat itu percampuran agama Siwa-Budha berkembang cukup pesat di Singosari. Proses penyatuan 2 agama tersebut berkembang karena pemahaman mendalam serta kristalisasi perkembangan agama di Singosari dimana raja Wisnuwardhana menyadari bahwa 2 agama tersebut memiliki tujuan mulia yang sama. Dilain pihak sang raja berusaha memujudkan suasana tata tentrem kerta raharja tanpa adanya persaingan yang signifikan baik antara 2 agama tersebut serta diantara para penganutnya. 
              Candi Jago juga dimaksudkan sebagai penolak bala tuah keris Mpu Gandring yang dikatakan akan memakan tujuh keturunan Ken Arok. Wisnuwardahana juga mengangkat Narasingamurti yang masih saudara namun beda bapak sebagai pendamping utama dalam menjalankan pemerintahan sehingga periode pemerintahannya disebut dengan 2 naga kepala tunggal. Tujuannya adalah untuk mengakhiri jurang perpecahan antara para keturunan Ken Arok dan Kendedes.
            Banyak bagian bangunan candi Jago yang rusak dan hilang. Sekarang yang terlihat masih utuh hanya bagian kaki candi yang terdiri atas 3 tingkatan dan sebagian kecil badan candi bagian depan yang ditunjukkan oleh adanya pintu. Ada dugaan kuat bahwa atap candi dulunya terbuat dari kayu dan ijuk yang tersusun tinggi seperti atap pura di Bali saat ini. Hal ini ditunjukkan pada potret candi yang dipahatkan pada relief Parthayadnya, teras ke-2, sebelah barat bagian tengah.
            Didepan candi terdapat sebuah batu yoni besar berasal dari ruang tengah candi. Di Belanda disimpan sebuah patung Amogaphasa yang masih utuh dan diduga kuat berasal dari atas yoni ini. Arca yang merupakan salah satu bentuk perwujudan Avalokiteswara ini digambarkan bertangan 8, dikelilingi dewa-dewi, Dhyani Budha dan Tara, sikap tangan wara mudra (sikap memberi) dan abhaya mudra (menolak bala) ; sedang tangan-tangan yang lain memegang aksamala (tasbih), pasa (jerat), pustaka (kitab), padma (teratai), dan kamandalu (kendi). Amoghapasa biasanya dikelilingi 4 pengikutnya ; Sudhanakumara, Syamatara, Hayagriwa, dan Bherkuti dan sekarang masih tersimpan di museum Nasional – Jakarta


Di halaman candi tergeletak sebuah patung tanpa kepala. Patung juga merupakan perwujudan Amoghapasa. Hal ini diketahui dari tulisan nagari yang dipahatkan sebelah atasnya serta atribut dan ciri khasnya. Terdapat juga sisa-sisa 3 kepala kala yang dulunya terletak diatas pintu masuk dan bilik-bilik candi. Hal menarik adalah kaki candi berbentuk bangunan berundak dan tersusun atas 3 tingkatan dan semakin keatas makin kecil serta agak menjorok kedalam. Pola ini memberikan suatu bidang cukup luas dibagian depan sehingga tepat sebagai tempat bersimpuh atau untuk melakukan ritual para pemujanya. Pada masing-masing tingkatan dihubungkan oleh 2 tangga dan masing-masing diapit oleh sepasang sandaran tangan besar dengan hiasan depan bermotif relief segitiga yang khas Jawa Timuran disebut tumpal. 

Bentuk bangunan berundak ini juga merupakan elemen-elemen pra-sejarah Indonesia seperti bangunan dalam bentuk pemujaan yang diletakkan dilereng-lereng gunung. Sejak periode Singosari, terlihat adanya keinginan kuat untuk memunculkan ide-ide asli Jawa. Hal ini semakin dikuatkan dengan kemunculan tokoh punakawan pada relief Parthayadnya. Punakawan adalah batur pelawak yang selalu mendampingi tokoh utama dan hanya ada dalam dunia seni Jawa. Sampai sekarang tokoh ini dipertahankan dalam tradisi kesenian wayang baik wayang kulit maupun wayang orang.

          Pada kaki candi inilah terpahatkan relief-relief yang memiliki nuansa agama berbeda. Pada tingkatan terbawah dipahatkan beberapa cerita Tantri (Jawa) seperti kura-kura dan anjing, lembu dan buaya, dan Anglingdarma, Kunjarakarna yang bernuansa agama Budha. Pada tingkat kedua dilukiskan cerita Parthayadnya, bagian dari Mahabarata, yang bernuansa agama Hindu; Begitu juga tingkat ketiga dengan cerita Arjunawiwaha.

 
Motif cerita Anglingdarma dan Kunjarakarna mengandung kesimpulan bahwa Wisnuwardhana adalah sang penyelamat. Sementara Parthayadnya dan Arjunawiwaha yang bertitik pangkal pada tokoh Arjuna dari bagian kitab Mahabharata, sebagai inkarnasi Wisnu, menggambarkan bahwa Arjuna adalah tokoh kunci kemenangan dari perang saudara antara Pandawa dan Kurawa hingga akhirnya yang ada hanyalah kebahagian dan perdamaian. Sangat sesuai sekali dengan kondisi politik yang berkembang di Singosari saat itu akibat pertikaian politik saudara antara keturunan Ken Arok dan Tunggul Ametung serta Kendedes dan Ken Umang, sekaligus sebagai potret diri dari sang raja sendiri yang juga memakai nama Wisnu.

            Perpaduan atau sinkretisme yang dianut oleh raja Wisnuwardhana adalah bukti sejarah yang sangat berharga dan diwujudkan pada candi Jago beserta relief-reliefnya. Candi Jago juga merupakan simbol toleransi keagamaan yang mengagumkan. Walaupun Wisnuwardhana menganut agama Hindu, sesuai namanya memakai Wisnu, tetapi dia sangat menghargai agama Budha. Masalah perbedaan agama ini sangat diperhatikan sebab dia jika tidak ditangani dengan serius akan menimbulkan wacana yang berbahaya.

            Begitu peliknya dan sensitifnya masalah perbedaan agama ini, sampai-sampai harus dimuat dalam sebuah kakawin pada jaman Majapahit yang lebih kompleks situasi dan pemerintahan sesudahnya. Sebuah bait pendek dalam kitab Sutasoma (149 : 5) karangan Mpu Panuluh, yang berbunyi bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa (berbeda tetap satu jua, tak ada ajaran yang mendua), menjadi kepatutan ketika diputuskan menjadi inspirasi negara kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas berbagai suku, adapt, dan kepulauan.Baca Selanjutnya






Candi Jawi

 
Dari semua bangunan candi peninggalan kerajaan Singosari, candi Jawi adalah yang paling indah yang telah selesai di rekonstruksi secara lengkap walaupun hampir semua arca-arcanya sudah tidak ada lagi. Sekarang ini bangunan candi Jawi nampak berdiri kokoh dan megah serta menjulang tinggi. 

            Negarakertagama (tafsir Prof Dr Slamet Mulyana) menyebutkan bahwa Candi Jawi, aslinya bernama Jajawa atau Jawa-Jawa, didirikan untuk raja terakhir Singasari, Kertanegara. Candi tersebut merupakan tempat abu jenazah Kertanegara, karena ia penganut dua agama, Siwa-Buddha.

Adanya candi makam tersebut sudah sejak jaman dahulu
Didirikan oleh Kertanegara, moyang Baginda raja (Hayam Wuruk)
Disitu hanya jenasah beliau sahaja yang dimakamkan
Kar’na beliau dulu memeluk dua agama Siwa-Budha

Bentuk candi berkaki Siwa, berpuncak Budha, sangat tinggi
Didalamnya terdapat arca Siwa, indah tidak dapat dinilai
Dan arca Maha Aksobhya yang tinggi tidak bertara
Namun telah hilang; memang sudah layak, tempatnya di Nirwana.

(Negarakertagama pupuh 56-57)

            Berbeda dengan peninggalan-peninggalan karajaan Singosari lainnya, candi Jawi hanya sangat sedikit sekali memiliki keterangan sehingga jarang sekali dibahas oleh para pakar arkeologi dan hanya sebatas sebagai salah satu peninggalan kerajaan Singosari atau sebagai obyek wisata sejarah. Namun letaknya yang tepat dipinggir jalan raya antara Pandaan – Tretes, candi Jawi sangat mudah dicapai.


            Candi Jawi yang kita lihat sekarang ini merupakan hasil pemugaran kembali tahun 1975-1980, dan diresmikan tahun 1982 setelah dahulu dalam kondisi rusak. Bagian bawah candi terbuat dari batu gunung, sedangkan bagian atas dari batu putih yang banyak ditemukan di kawasan pantai utara. Mungkin ini berkaitan dengan peristiwa candi Jawi yang di sambar petir tahun 1254 C atau 1332 M dan perlu diperbaiki kembali seperti tertulis pada kakawin Negarakertagama (57 ; 4).


            Pada waktu proses renovasi, sesungguhnya saat itu candi Jawi tidak dapat dipugar kembali walaupun bagian bawah dan atas candi telah utuh dapat direkonstruksi. Hal ini karena ada satu tingkat lapisan horizontal yang semua batu-batu aslinya tidak dapat ditemukan kembali. Setelah hampir putus asa dan menyerah untuk merekonstruksi kembali, untunglah ditemukan sebuah batu penyambung. Dengan bantuan batu tersebut maka bangunan candi Jawi dapat direkonstruksi utuh walaupun semua batu sisa pada tingktan tersebut adalah batu-batu pengganti atau polos. Dalam dunia rekonstruksi arkeologi, disebut anatylosys, sebuah batu yang mampu menjadi ide penyambung 2 tingkatan disebut keystone atau “batu kunci”. Jika seandainya batu kunci tersebut tidak ditemukan, maka dapat dipastikan bahwa candi Jawi tidak boleh direkonstruksi.


            Relief yang mengelilingi kaki candi sangat sulit untuk diterjemahkan kembali makna dan maksudnya karena tidak ditemukan kecocokan dengan sebuah cerita atau ajaran moral yang sesuai dengan rangkaian relief tersebut seperti pada candi-candi yang olain. Relief-relief tersebut sebetulnya masih dapat dibaca dengan jelas walaupun sudah banyak bagian-bagian yang mengalami distorsi alam. Yang paling menarik adalah dibagian tengah sisi utara dimana terdapat “potret candi”. Disitu dilukiskan bagaimana keadaan bangunan candi. Terdapat kolam yang mengelilingi candi beserta hiasan bunga-bunga teratai yang besar-besar, letak candi yang diatas teras, 3 buah candi perwara (pendamping) didepan candi yang sekarang tinggal dasarnya saja, bentuk asli candi Jawi yang menjulang tinggi, serta candi bentar (pintu gerbang) yang berada di sebelah barat dan sekarang juga tinggal dasarnya saja. Khusus mengenai candi Bentar ini merupakan potret candi bentar satu-satunya yang ada di kompleks candi di Jawa Timur. 


            Bagian yang paling menarik dari candi Jawi adalah puncak mahkotanya. Walau candi ini berpola khas candi Hindu seperti candi-candi di Jawa Timur pada umunya, namun puncak candi tersusun atas 2 mahkota, yakni ratna-stupa. Ratna adalah puncak khas candi Hindu, seperti candi Angka Tahun di Penataran dan dipakai sebagai simbol Kodam Brawijaya sekarang ini, sedangkan stupa adalah ikon khas agama Budha. Hal sesuai agama yang dianut oleh Kertanegara semasa hidupnya yakni sinkretisme Siwa-Budha. Sungguh suatu unsur perdamaian luar biasa. Dahulu didalam stupa tersebut tersimpan sebuah arca kecil Akhsobya yang indah, namun tahun 1253 hilang karena puncak candinya dihantam petir. Oleh Prapanca, sang penggubah Negarakertagama, disamarkan bahwa memang sudah seharusnya letak Akhsobya di Nirwana.


            Candi Jawi merupakan model kesempurnaan perwujudan alam raya yang indah dalam sebuah mandala. Dalam konsep filosofi agama Hindu, disebutkan bahwa alam raya tersusun konsentris silih berganti atas serangkaian 7 samudra dan 7 benua. Benua yang paling tengah, disebut Jambudwipa, merupakan pengejawantahan dari benua India itu sendiri. Dan ditengah-tengah Jambudwipa, berdirilah sebuah gunung suci menjulang paling tinggi yang disebut Meru sekaligus sebagai paku dan penyeimbang Jambudwipa supaya tidak terombang-ambing ditengah samudra. Dipuncak gunung Meru inilah bersamayam para dewa-dewa.
            Pada candi Jawi terdapat kolam, lebar 2 m, yang mengelilingi candi, sementara candinya sendiri terletak diatas sebuah teras besar setinggi hampir 3 meter. Kolam tersebut adalah representasi dari samudra terakhir dan teras besar diatasnya merupakan perwujudan dari benua Jambudwipa. Sedangkan candi Jawi yang menjulang tinggi di tengah teras melambangkan gunung Meru. Hal ini mengacu pada konsep Jawa kuno bahwa pusat alam raya yang sekarang berada di Jawa dan bukan lagi di India; dan gunung Meru-pun telah berubah namanya menjadi Semeru dan candi Jawi merupakan mandala-nya.
Demikian sempurna pengejawantahan konsep filosofi alam raya tersebut adalah juga gambaran dari kesempurnaan sang raja yang dimuliakan di candi tersebut yakni Kertanegara seperti termuat dalam kakawin Negarkertagama :

Diantara para raja yang lampau tidak ada yang setara beliau
Faham akan nam guna, sastra, tatwopadesa, pengetahuan agama
Adil, teguh dalam Jinabrata dan tawakal kepada laku utama
Itulah sebabnya beliau turun temurun menjadi raja pelindung  (Pupuh 43 : 4)

            Raja Kertanegara pulalah yang merupakan pencetus ide cakrawala mandala nusantara. Walau tujuannya adalah untuk membendung pengaruh raja Kubilai Khan ke wilayah timur, namun konsep tersebut justru menjadi inspirasi dari Sumpah Palapa-nya Gajah Mada dan dewasa ini menjadi latar belakang wilayah teritorial negara kesatuan Republik Indonesia. Readmore

Candi Singosari


    Dari seluruh candi-candi peninggalan kerajaan Singosari, candi Singosari adalah yang paling populer. Hal ini terlihat dari daftar pengunjung yang ada, daftar obyek wisata di Jawa Timur, referensi tentang candi, serta listing di internet tentang candi-candi di Jawa Timur. Begitu pula lokasi candi yang tidak jauh dari jalan raya sehingga memudahkan para wisatawan untuk mengunjunginya.

            Terletak di desa Candirenggo, kec. Singosari, 13 km utara kota Malang, candi Singosari hampir seluruhnya dapat direkonstruksi kecuali sebagian bagian atasnya. Di sudut barat daya teras candi terpahatkan angka 1934. Mungkin ini tahun ketika candi Singosari selesai direkonstruksi oleh pemerintah Belanda saat itu. Pada waktu rekonstruksi tersebut ditemukan sebuah saluran air dari puncak candi menuju pusat ruang utama dan selanjutnya dialirkan keluar melalui muara kecil di bagian tengah teras sebelah utara. Dengan demikian air yang keluar dari candi tersebut, karena berasal dari langit dan menyentuh lingga sebagai esensi candi, menjadi suci.

            Hal menarik dari struktur candi adalah letak ruang utama dan bilik-biliknya. Pada umumnya candi-candi di Jawa, ruang utama dan bilik-bilik tersebut terletak pada badan candi karena kaki candi berfungsi sebagai dasar candi. Namun pada candi Singosari kaki candi justru berfungsi sebagai tempat ruang utama dan bilik-biliknya. Sedangkan badan candi, walau tidak untuk menempatkan patung-patung utama, tetap diberi pola bilik-bilik kecil. Sementara atap candi, karena tidak dapat direkonstruksi seluruhnya, tidak dapat diketahui dengan pasti apakah menjulang tinggi seperti candi Jawi ataukah pendek datar seperti candi Kidal


Komposisi ukir bangunan candi juga menarik perhatian. Bagian tengah keatas penuh dengan ukiran indah layaknya candi-candi pada umumnya, sedangkan bagian tengah kebawah terkesan polos. Hal ini terutama jelas terlihat pada hiasan kepala kala pada setiap bagain atas pintu ruang baik di kaki maupun badan candi. Tidak dapat diketahui dengan pasti mengapa dibuat demikian. Ada teori yang mengatakan bahwa itu menunjukkan pengaruh Hindu yang umumnya penuh hiasan ukir dan Budha yang polos atau sederhana. Ada juga yang mengatakan bahwa memang dibuat demikian untuk mengenang raja Kertanegara yang cita-cita cakrawala mandala nusantaranya terputus ditengah jalan karena beliau dibunuh oleh raja saingannya. Ada pula teori yang mengatakan bahwa memang demikian keadaannya karena proses pembuatan candi yang terpaksa harus terhenti karena kerajaan Singosari diserbu oleh tentara Jayakatwang.

           Disebelah barat candi terdapat sejumlah sisa-sisa patung peninggalan candi Singosari. Sayang banyak yang dalam keadaan rusak. Salah satu patung yang menarik adalah patung Pradnyaparamitha, Dewi kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan versi agama Budha, tanpa kepala. Di Jawa ini hanya ada 3 patung Pradnyaparamitha; yakni di candi Singosari, di candi Bayalangu – Tulungagung, dan yang paling indah di museum Nasional  Jakarta. Patung Pradnyaparamitha di Jakarta tersebut terkenal dengan sebutan patung Kendedes


Sekarang ini di candi Singosari hanya tersisa sebuah patung yang terletak dibilik sebelah selatan. Patung tersebut adalah Agastya atau mahaguru. Sesuai dengan iconogram candi-candi Hindu Jawa, ruang utama diperuntukkan dewa Siwa atau umumnya diwujudkan dalam bentuk lingga, bilik utara untuk Durgamahesasuramardini atau Sewi Durga, sebelah timur untuk Ganesha, dan sebelah selatan adalah Agastya. Ciri khas Agastya adalah berjanggut lebat, perut buncit, 4 tangannya masing-masing memegang kendi, tasbih, pecut semacam pengusir lalat, dan tombak. Sementara hiasan bunga teratai dekat telapak kaki dan menjulur melingkar keatas adalah ciri khas periode Singosari; jika teratai tersebut keluar dari vas bunga atau bonggol merupakan ciri periode Majapahit.

            Sebagaimana tertulis dalam Negarakertagama, candi Singosari adalah tempat pendharmaan raja Kertanegara. Namun disini beliau diwujudkan dengan 3 arca perwujudan, melambangkan trikaya, yaitu sebagai Siwa-Budha dalam bentuk Bhairawa yang melambangkan nirmanakaya, sebagai ardhanari lambang sambhokaya, dan sebagai Jina dalam bentuk Aksobhya yang melambangkan dharmakaya. Suatu bentuk perwujudan agung untuk seorang raja besar Kertanegara.


            Seperti wujud candi Jawi yang melambangkan mandala alam raya, candi Singosari, tempat dimuliakannya Kertanegara, juga memiliki konsep yang sama. Dengan prinsip candi terdiri atas kaki, badan dan atap candi, maka bangunan candi aslinya terletak diatas sebuah batur teras. Teras tersebut melambangkan benua Jambudwipa (India) sebagai benua paling tengah dari alam raya, sedangkan candinya sendiri merupakan perwujudan gunung suci meru yang menjulang tinggi. Oleh karena itu dataran disekeliling candi diumpamakan sebagai lautan luas. Semua itu melambangkan keutamaan sang raja Kertanegara pada perwujudan Siwa-Budha yang dimuliakan pada candi tersebut.


            Perumpamaan candi sebagai gunung Meru ini semakin dikuatkan dengan adanya 4 buah gundukan diatas masing-masing ruang candi. Hal ini disesuaikan dengan topografi gunung Meru di India yang dikelilingi oleh 4 gunung kecil-kecil. Sama seperti gunung Penanggungan di Pandaan yang dianggap sebagai simbol puncak gunung Meru atau disebut Mahameru. Selain bentuk fisiknya yang sempurna kerucut, gunung Penanggungan juga dikelilingi oleh 4 buah gunung kecil-kecil di keempat arah mata angin.


            Dalam kitab kuno Tantu Panggelaran diceritakan bahwa suatu ketika gunung Meru di India, sebagai simbol pusat alam raya, harus dipindahkan ke Jawa (untuk mensahkan Jawa sebagai Jambudwipa baru). Dalam perjalanannya banyak bagian-bagian gunung Meru itu yang terjatuh berceceran sehingga membentuk rangkaian gunung-gunung mulai dari India, Bangladesh, Myanmar, Thailand, Sumatera, dan Jawa seperti sekarang ini. Gunung Meru di India selanjutnya berubah menjadi gunung Semeru, sementara puncaknya, gunung Pawitra atau Mahameru, diidentifikasikan sebagai gunung Penanggungan. Maka saat itu Jawa menjadi pusat alam raya dengan segala isi dan filosofinya, bukan lagi di India … !! Baca Selanjutnya 

Selasa, 11 September 2012

PATUNG DWARAPALA


Sebelum dewa-dewa muncul di dalam sistim kepercayaan agama Hindu dan Budha, Dwarapala diangap sebagai makhluk gaib dan dipuja orang di India sebagai pelindung pertanian. Setelah munculnya prinsip dewa-dewa, Yaksha dimasukkan dalam golongan setingkat dibawah dewa. Perkembangan selanjutnya Yaksha menjadi pendamping sang Budha dan menghiasi stupa bersama-sama makhluk lain. Akhirnya Yaksha seakan-akan “melindungi” dan “menjaga” bangunan suci. Tugasnya sebagai pelindung bangunan suci itulah kemudian berkembang menjadi Dwarapala.

            Dwarapala selalu diletakkan didepan pintu gerbang atau pintu bangunan suci. Ia memiliki kekuasaan untuk melindunginya dari berbagai kekuatan jahat. Sesuai tugasnya sebagai penjaga, diapun dilengkapi dengan senjata, umumnya gada sebagai simbol penghancur sekaligus lambang keperkasaan dan kekuasaan. Atributnya adalah ular atau naga perlambang kehidupan air yang dapat mendatangkan hujan. Matanya melotot dan mulut menyerengai menimbulkan kesan menakutkan sekaligus wibawa. Hal ini sama seperti Dwarapala Singosari. Untuk menambah kesan gagah dan garang penampilannya, sang penjaga candi itu masih merasa perlu memperlengkapi diri dengan kelat bahu, sabuk, samur, subang, kalung, gelang kaki (binggel), gelang tangan, serta ikat kepala untuk mengikat rambut ikalnya dan semuanya berhiasan kepala tengkorak.

            Dilihat dari bentuk fisik serta senjata-senjatanya, tampak jelas sifat destruktif sebagai ciri kuat Dvarapala. Namun, dalam hubungannya dengan fungsi peribadahan aspek destruktif itu harus dipandang mulia. Itu karena apa yang dianggap musuh-musuh jahat dari luar yang harus dihancurkan adalah ajaran-ajaran yang melawan agama. Jadi selama orang tidak berniat jahat, nyali tidak perlu ciut memasuki gugusan candi yang dijaga mahluk gaib menyeramkan ini.
            Patung Dwarapala ini terletak sekitar 200 meter sebelah candi Singosari dan merupakan patung tunggal terbesar di Indonesia karena beratnya sekitar 23 ton dan tingginya 3,7 meter (padahal ia dalam posisi jongkok !). Jumlahnya ada 2 buah di sebelah selatan dan utara.
            Dahulu Dwarapala sebelah selatan pernah ambles ke bumi hingga separuh perutnya. Tim yang mengerjakan pemugaran candi Borobudur dipercaya untuk memperbaiki letak posisinya. Namun tidak ada peralatan modern yang mampu mengangkatnya kembali, bahkan perlatan berat lainnya juga gagal seolah-olah tenggelam kekuatannya dihisap oleh patung tersebut. Setelah melakukan upacara selamatan dan berkat petunjuk gaib penduduk setempat yang memberitahukan bahwa letak kekuatan Dwarapala adalah pada kedua matanya, maka proses pengangkatan kembali tersebut berhasil setelah juga dengan menutup kedua matanya dari sinar matahari. Sekarang Dwarapala sebelah selatan tersebut berada diatas sebuah lapik semen dan utuh hingga kelihatan mata kakinya.

            Menurut Bernet Kempers Dwarapala Singosari adalah penjaga alun-alun kerajaan Singosari (1222-1292) yang sekarang berubah menjadi taman didepannya. Sehingga diperkirakan keraton kerajaan Singosari terletak tidak jauh darinya. Kitab Pararaton menyebutkan adanya bangunan suci Purwapatapan tempat Kertanegara biasanya melakukan upacara tantri dan Dr. Oey  Blom yakin bahwa bangunan tersebut terletak disebelah selatan candi Singosari yang sekarang sudah hilang jejaknya. Tentunya letak keraton tidak akan begitu jauh dengan tempat pemujaan. 
 Baca Selanjutnya

PATUNG GANESHA


Menurut Mitologi India Ganesha digambarkan dengan berbadan manusia dan memiliki kepala binatang gajah. Gadingnya patah dan memiliki 4 buha tangan, 2 didepan dan 2 dibelakang. Mitologi itu jug amenyebutkan bahwa Ganesha mengendarai tikus karena itu ia digelari Vighnesvara yang artinya pengelak marabahaya atau penghalang segala keuskaran. Oleh karena itu setiap kali akan memulai suatu usaha, masyarakat India dulu tidak lupa memuja Vighnesvara agar usahanya kelak bebas dari segala bencana atau kesukaran dan ujung-ujungnya bisa berhasil.
            Seperti patung-patung lain yang ditemukan Engelhard tahun 1827 dari candi Singosari, patung Ganesha ini yang masih tersimpan di museum Leiden Belanda ini dalam keadaan baik dan terawat. Patung yang juga terbuat dari batu gunung, andesit, ini berasal dari bilik sebelah timur candi Singosari.
            Dengan tinggi sekitar 1,3 meter Ganesha nampak indah dan gagah. Sama seperti Ganesha yang lain, dia bertangan 4 masing-masing memegang kapak, gantungan, dan kepala tengkorakyang terbalik. Dia duduk diatas alas berhiaskan 10 kepala tengkorak.
            Ganesha Singosari ini juga merupakan perwujudan dari Kertanegara itu sendiri. Jumlah 10 tengkorak pada batur alasnya merupakan simbol dari keutamaan Kertanegara dalam pemahaman 10 laku utama agama Budha atau disebut Paramita, yakni  dhana (derma), sila (tata susila), ksanti (sabar), virya (perwira), dyana (samadi), prajna (kebijaksanaan), upaya kausalya (upaya sarana), pradinata (teguh), bala (kekuasaan), dan jnyana (pengetahuan). Seperti diketahui dari berbagai sumber bahwa Kertanegara terkenal sebagai raja yang sangat paham tentang prinsip-prinsip keagamaan.
            Yang tidak lazim dari Ganesha ini adalah posisi duduknya yakni jigang atau sikap 2 kaki membentuk sudut siku-siku.. Hal ini melukiskan Kertenegara adalah orang yang memegang teguh norma-norma tata susila. Kepalanya memiliki mahkota bersusun tiga dan dibagain paling atas berbentuk stupa yang merupakan symbol penghormatan Kertenegara terhadap agama Budha yang dianutnya selain Siwa.
            Tangan berjumlah empat buah. Kanan depan memegang batok yang digambarkan berisi perhiasan melimpah ruah, dan tangan kiri depannya memegang batok yang berisi darah yang dihisap melalui belalainya. Simbolis ini adalah bahwa kerjaan Singosari mengalami kemakmuran melimpah ruah sementara dia sendiri adalah orang yang terus menerus belajar tentang keutamaan dalam agama. Sementara  tangan kanan belakang mmegang kunci pintu gerbang dan tagan kiri belakang memegang kapak. Ini merupakan perlambang Kertanegara yang teguh menjaga kedaulatan kerajaan besar Singosari dan menghancurkan musuh-musuh nya. Semua ini sesuai sekali dengan apa yang digambarkan oleh Prapanca dalam kakawin Negarkertagama
Diantara para raja yang lampau tidak ada yang setara beliau
Faham akan nam guna, sastra, tatwopadesa, pengetahuan agama
Adil, teguh dalam Jinabrata dan tawakal kepada laku utama
Itulah sebabnya beliau turun temurun menjadi raja pelindung (pupuh 43 : 4)
            Dengan prinsip upacara cradha atau upacara yang berlangsung setiap tahun hingga berakhir pada tahun ke-12, maka logis bila candi Singosari didirikan setelah wafatnya Kertanegara atau tepatnya pada waktu periode Majapahit. Jadi bukan pada periode Singosari. Hal ini juga dibuktikan pada patung Ganesha ini dan terletak dibagian sandarannya. Disebelah kiri dan kanan mahkota Ganseha terdapat hiasan bulat dan dilapisi lingkaran lancip dibagian luarnya. Dalam dunia arkeologi pola seperti ini disebut matahari terbit atau wilwatikta. Hiasan ini dipakai sebagai simbol resmi kerajaan Majapahit dan juga sering sebagai produk periode Majapahit.
            Para ahli sejarah seperti Prof. Dr. Woyowasito,  R. Soekmono, Drs. Pitono H., berpendapat bahwa Ganesha adalah dewa symbol kebijaksanaan atau lambang ilmu pengetahuan. Bahkan WR Situterheim mengatakan sebagai dewa kebahagiaan. Oleh karena itu wajar bila ITB Bandung menggunakan Ganesha sebagai symbol perguruan tingginya. Hal ini terkait dengan sikap belalai Ganesha yang menghisap isi batok sebagai symbol terus-menerus menghisap ilmu pengetahuan tanpa henti. Baca Selanjutnya





PATUNG DURGA MAHESASURAMARDINI


    Dalam ksiah India kuno Markandeya Purana dan Matsya Purana menceritakan pertempuran antara para raksasa Asura yang dipimpin oleh rajanya Mahisa melawan para dewa yang dipimpin oleh dewa Indra. Pada akhirnya pasukan para raksasa mampu mengalahkan tentara para dewa dan mereka memproklamirkan diri sebagai penguasa kahyangan. Brahma yang memimpin para dewa yang kalah meminta bantuan kepada dewa Wisnu dan Siwa. Keduanya akhirnya menyanggupi. Dari perpaduan kekuatan maha dahsyat kedua dewea utama ini maka lahirlah dewi Durga. Kemudian para dewa menyumbang kekuatan dan senjata andalannya kepada dewi Durga dengan harapan akan mmapu menandingi kesaktian Mahisa dan merebut kembali kahyangan. Setelah berhasil membunuh para tentara raksasa, Durga sendiri akhirnya menghadapi Asura yang berbentuk seekor kerbau. Dengan bediri diatas tubuh kerbau, Durga selanjutnya berhasil membunuhnya. Namun kemudian muncullah seorang raksasa kecil dari tubuh kerbau yang mati tersebut, yang sesungguhnya merupakan inti kekuatan dari kerbau sakti itu. Dan sekali lagi Durga berhasil menaklukkannya.
            Demikian gambaran sekilas tentang patung Durga yang banyak ditemukan di Jawa dan sekaligus juga sebagai salah satu patung utama dari keberadaan sebuah candi. Dewi paling popular di Jawa ini, Durga Mahesasuramardini umumnya diletakkan di ruang sebelah utara sebuah candi Hindu atau Siwa. Patung Durga umumnya memiliki tangan mulai dari 2 sampai 10, namun yang paling umum bertangan 8 buah. Karena menurut ceritanya bahwa semua dewa menyerahkan senjata andalannya untuk diprgunakan melawan Mahisa, maka dalam literature Purana jumlah senjata tersebut melebihi jumlah tangannya yang ada. Akibatnya patung Durga kadang-kadang memiliki jenis senjata berbeda dengan patung Durga yang lain. Bahkan di Bali, salah satu tangan Durga digambarkan memegang keris Bali yang khas. Namun itu hanya minoritas saja karena pada umumnya Durga memiliki atribut senjata yang sama satu dengan lainnya.
            Dalam dunia arkeologi Jawa, patung Durga digambarkan seolah-olah dalam keadaan sedikit rileks setelah berhasil mengalahkan Mahisa dan Asura. Berbeda dengan patung Durga di India yang menggambarkan sebuah pertarungan dahsyat melawan Mahisa. Hal itu terlihat dari sikap atau posisinya yang sedikit condong kekiri dengan kedua kaki agak ditekuk. Keadaan Mahsia sendiri nampak pasrah dan seolah-olah merupakan binatang kendaraan Durga dan bukannya musuh para dewa yang berbentuk raksasa dan menakutkan seperti dalam konsep di India.
            Dari berpuluh-puluh patung Durga yang pernah ditemukan di Indonesia, patung Durga dari candi Singosari dianggap yang paling indah dan megah. Patung yang masih tersimpan rapi di museum Leiden Belanda ini berhiaskan ukiran indah serta tinggi sekitar 1,5 meter. Hiasan pada tubuh Durga masih terlihat dengan baik demikian juga nandi (lembu) yang mejadi kendaraannya dan patung raksasa kecil disebelah kiri bawahnya.
            Walau sebagian bagian atasnya sudah hilang, namun bagian yang menampilkan tubuh dan kepalanya masih utuh. Mahkotanya juga terlihat indah. Hiasan atribut keningratannya seperti gelang kaki atau binggel, sabuk, gelang tangan, dan anting-antingnya juga masih terlihat jelas.
           Ada hal sangat menarik dari patung Durga ini adalah bahwa dia memakai penutup dada atau semacam kemben. Bahkan kemben tersebut terlihat ketat karena menampilkan  lekuk-lekuk tubuhnya. Sedangkan tubuhnya bagian bawah tertutup oleh kain panjang semacam sarung dihiasi beberapa atribut keningratan. Yang tak kalah menarik, dibanding patung-patung lain yang pernah ada di Indonesia, adalah bahwa kain kemben dan sarung tersebut bermotf batik. Apakah memang batik sudah dikenal sejak jaman kerajaan Singosari ? Mungkin saja …
            Patung Durga indah lainnya dari kerajaan Singosari adalah yang dari candi jawi. Patung ini sekarang disimpan di museum Mpu tantular Surabaya. Walau tidak seindah patung Durga dari candi Singosari dan berukuran lebih kecil (1 m), patung ini masih nampak utuh. Readmore

PATUNG CAMUNDI

  Tahun 1927 ada seorang petani didesa Ardimulyo, sebelah utara candi Singosari, menemukan dan menyimpan sebuah arca agak besar. Namun kemudian dia sering bermimpi menyeramkan dan mengalami nasib jelek. Khawatir itu semua karena pengaruh patung yang baru ditemukannya, maka dia menghancurkan patung itu berkeping-keping. Untunglah museum Kesenian Boston, setelah berhasil menyelamatkannya dari seorang kolektor Belanda, dengan kesabaran luar biasa, berhasil menyatukan kembali sebagian besar bagian-bagian yang rusak dan hilang kecuali sedikit bagian belakang, dasaran, sedkit bagian depan yang sudah bercampur dengan bahan material baru.
            Patung tersebut pernah tergeletak di halaman candi Singosari dan sekarang disimpan di museum Trowulan. Nama patung itu adalah Camundi. Memiliki tangan 8 buah, diapit beberapa tokoh seperti Ganseha dan Bhairawa.
           Dibelakang patung Camundi tertera sebuah prasasti berangka tahun 1214 C atau 1292 M dan berbunyi : “tatkala kaprastisthan paduka bhatari maka tewek huwus sri maharaja digwijaya ring sakalaloka manuyuyi sakaladwipantara”. Disebutkan bahwa Batari Camundi ditasbihkan pada waktu Sri Maharaja Kertanegara menang diseluruh wilayah dan menundukkan semua pulau-pulau lain. (L.C. Damais)
           Dalam Negarakertagama pupuh 42 dijelaskan bagaimana raja Kertanegara mampu menjadi raja besar dengan menaklukkan daerah-daerah seperti Bali, Pahang – Malaysia, Sumatera, Gurun, Bakulapura, Sunda, dan Madura. Itulah bibit-bibit wawasan cakrawala mandala nusantara.
            Walaupun tidak terdapat bukti secara langsung atas daerah-daerah tersebut dan mengkin saja hanya merupakan wilayah simbolis saja, namun kenyataannya Kertanegara benar-benar menguasai Jawa dan Sumatera. Terbukti 6 tahun sebelumnya. tahun 1286, beliau mengirimkan tentaranya ke Sumatera dan berhasil menegakkan patung Amoghapasa disana sebagai bentuk kedaulatan Singosari atas wilayah Sumatera. Raja di Sumatera bernama Mauliawarman tetap diperkenakan memakai gelar maharaja, namun Kertanegara selanjutnya bergelar maharajadiraja. Readmore

PATUNG BHAIRAWA


Mungkin karena masih tersimpan dimuseum Leiden Belanda, sehingga patung yang indah dan nampak seram ini jarang dikenal orang. Patung ini ditemukan oleh Engelhard tahun 1827, bersama-sama beberapa patung lain, dari candi yang sekarang disebut Singosari.
            Walaupun kitab-kitab icinografi India tidak memiliki referensi yang mampu menjelaskan dengan sempurna patung ini, dari penampilannya serta atribut-atributnya jelas patung ini merupakan salah satu perwujudan dewa Siwa yang menakutkan dan disebut Bhairawa. Berdiri diatas setumpukan kepala tengkorak dan dengan sikap agak jongkok, dia seperti duduk dipunggung seekor serigala. Memiliki 4 tangan yang masing-masing memegang keris, senjata tombak pendek, gendang dan batok kepala tengkorak. Pada badannya menjuntai kalung panjang berhiaskan kepala tengkorak, begitu juga anting-anting dan hiasan lengan atas kiri dan kanan. Wajahnya melotot dan mulutnya agak terbuka menampilkan gigi taringnya. Sangat pas menunjukkan wajah seramnya. Pada sandarannya sebelah atas kanan terdapat huruf jawa kuno berbunyi cakra-cakra. Sayang sedikit sandaran bagian atas kiri hilang dan mungkin berisi sisa tulisan tersebut sehingga belum terungkap dengan pasti apa makna dibalik seluruh prasasti tersebut.
            Jessy Blom dan P.H. Port menduga kuat patung ini dulunya berada pada salah satu candi disebelah selatan candi Singosari yang sekarang sudah hilang jejaknya. Hal ini sesuai dengan pemberitaan kitab Pararaton tentang adanya sebuah Purwapatapan dimana raja Kertanegara biasanya melakukan upacara tantri. Menurutnya patung Bhairawa ini terletak di Purwapatan, seperti juga ditulis dalam prasasti Gunung Buthak (1924) sebagai Sivabuddhalaya atau tempat bersemayamnya Siwa-Budha, G.F. Brummund berpendapat bahwa bangunan ini terbagi atas 3 ruang. Patung Parwati (Pradnyaparamita) terletak disebelah selatan, patung Camundi disebelah utara, dan Bhirawa ditengahnya. Jadi Bhirawa ini diapit oleh seorang dewi menakutkan dan menyejukkan.
            Tidak diketahui dengan pasti patung ini diperuntukkan siapa. Namun L.C. Damais berhasil meyakinkan bahwa terdapat 2 nama yang berkaitan erat dengan personfikasi patung Bhairawa ini; Yakni Adityawarman yang pernah memerintah Sumatra atau Kertawardahana yang selanjutnya dikenal sebagai istri Tribuwanatunggadewi dan ayah raja terbesar Majapahit, Hayam Wuruk. Nama asli Kertawardhana adalah Cakradhara atau Cakresvara Readmore

PATUNG PRADNYAPARAMITHA

   Dari sekian banyak patung-patung indah warisan kompleks candi Singosari hanya patung Agastya dan juga sepasang patung raksasa Dwarapala, 200 m sebelah barat candi, yang masih berada di asli lokasi. Sementara yang lain telah berpindah dan tersimpan dibeberapa tempat seperti di museum Nasional Jakarta (Patung Kendedes), Trowulan (Camundi) dan museum Leiden Belanda (Durga, Ganesha, Bhairawa). Yang lainnya hilang entah kemana.


         Menurut kebanyakan orang, patung yang diduga berasal dari candi Singosari, pernah disimpan lama di negeri Belanda, dan sekarang menjadi salah satu koleksi berharga museum Nasional Jakarta, adalah patung Kendedes, sang permaisuri agung dan ibu suri dinasti Singosari dan Majapahit yang cantik jelita bak bidadari. Hal ini sesuai dengan cerita tutur, kitab kuno Pararaton, serta prasasti Mula Malurung





  Patung yang sesungguhnya merupakan perwujudan dewi Kebijaksanaan dan Ilmu Pengetahuan versi agama Budha ini disebut Pradnyaparamitha. Patung ini adalah yang terhalus dan terindah yang pernah ditemukan dalam dunia arkeologi Indonesia. Tingginya sekitar 1,26 m dan terbuat dari batu gunung atau andesit. Beliau duduk diatas bunga teratai dan kedua tanggannya membentuk sikap dharmacakramudra atau memutar roda dunia. Terdapat hiasan tangkai teratai melingkar ditangan kiri dan bunganya sebagai alas sebuah kitab. Dia bersandar pada sebuah kursi kencana indah dan beralaskan teratai.
            Tubuhnya dipenuhi perhiasan mengagumkan mulai dari gelang kaki, bagian perut, tangan, dada, leher, kuping, badan hingga ke mahkotanya. Sedangkan tubuh bagian bawahnya ditutupi oleh kain sebangsa batik. Seandainya merupakan sebuah lukisan atau potret berwarna, tentulah patung ini akan menampilkan keagungan luar biasa dari sang putri. Mungkin juga patung ini adalah gambaran dari potret seorang putri raja karena memiliki hiasan yang begitu banyak dan indah.
            Posisi tangannya melambangkan sikap dharmacakramudra atau memutar roda dunia atau lebih jelasnya merupakan kunci dari penguasaan sebab dan akibat.  Sikap ini hanya dimiliki oleh kaum Budda dan juga seperti ditunjukkan pada patung-patung Budha yang ada di candi Borobudur. Sementara sebelah kirinya terdapat sebuah batang bunga teratai yang menjulur melingkar tangan kirinya. Pada ujung bunga teratai terdapat sebuah kitab yang disebut Pradnyaparamita-sutra atau kitab Kebijaksanaan Utama.
           Sang pencipta patung ini sungguh telah begitu sempurna berhasil menggambarkan perpaduan antara kedamaian dan keteduhan ekspresi raut wajah serta keutamaan sikap Budhawi dengan gemerlapnya perhiasan diseluruh badan. Bahkan tak ada patung lain di Indonesia yang mampu menghadirkan keyakinan adanya teori patung “potret diri” karena pada patung ini jelas terlihat perpaduan dari sorang dewi yang memiliki wajah manusiawi serta memiliki perhiasan keduniawian seroang ratu. Dan sungguhnya patung ini merupakan satu-satunya patung potret-diri seorang ratu sebelum konsep potret-diri itu mulai muncul diantara para ahli sejarah.
            Namun sayang tempat asli patung ini masih misteri. Karena jelas letak patung ini tidak mungkin dari candi Singosari yang ada sekarang masih berdiri. Ini karena candi Singosari adalah sebuah candi Siwa sementara patung Pradnyaparamita adalah sebuah dewi agama Budha. Jadi jelas bahwa salah satu bangunan agamis tersebut merupakan bagian dari sebuah kompleks besar percandian Singosari seperti ditunjukkan oleh penemuan Engelhard tahun 1827 yang tidak jauh dari candi Singosari. Kompleks tersebut ternyata tidak hanya berhiaskan candi-candi Hindu namun juga Budha seperti ditunjukkan oleh patung Pradnyaparamita. Dan ini tentunya sesuai sekali dengan prinsip raja Kertanegara sebagai seorang pemuja Siwa-Budha dan Tantra.
                Namun demikian belum sepenuhnya benar seandainya patung Pradnyaparamita ini merupakan potret Kendedes. Kakawin Negarakertagama (67 ; 1-2 dan 69 ; 1) menyebutkan bahwa ratu Gayatri didharmakan sebagai Pradnyaparamitha dan candinya disebut Pradnyaparamithapuri. Gayatri adalah salah satu dari 4 putri Kertanegara dan menjadi istri terkasih dari Kertarajasa sang pendiri kerajaan dan dinasti Majapahit. Sementara itu, menurut kitab Pararaton, disebutkan bahwa pendeta Lohgawe yang merupakan penasehat spiritual Ken Arok menyebut Kendedes sebagai Ardhaneswari atau wanita utama dan mengacu pada dewi Parvati yang cantik jelita.


Lihat Kelanjutan Tentang Patung Patung Singosari Disini